Khutbah dengan Bahasa Arab?

Dalam suatu masjid, ada masjid yang berkhutbah dengan bahasa arab. Khutbah ko dengan bahasa arab, bagaimanakah itu? Apakah itu adalah cara khutbah baru? Tapi itu sepertinya sudah dilakukan sejak lama.
Tunggu dulu kita jangan mengatakan apapun atau berkomentar terlebih dahulu sebelum tahu kejelasan dari suatu perkara, takut sesat menyesatkan, ingatlah firman Allah SWT “dan jangan kamu melakukan sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmuanya…..” (kalau menurut Ibnu Abbas ‘melakukan sesuatu’ itu termasuk berkata sesuatu).
Setelah diteusuri dengan minta beberapa alasan dalil-dalilnya yang menguatkan, saya mendapat keterangan sebagai berikut:

Khuthbah Jum’at memiliki syarat-syarat, maka khuthbah tidak sah jika salah satu syarat yang disebutkan sebagai berikut ini ditiadakan:

1. Syarat harus didahulukan dari sholat. Inlah yang diwariskan oleh Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan para kholifahnya, dan ini merupakan ijma, serta tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin pada umumnya.

2. Niat. Maka, jika khuthbah tanpa niat, tidak dianggap sah. Malikiyah berpendapat; disyaratkan niat terlebih dahulu sebelum khuthbah.

3. Menggunakan bahasa Arab. Maka, jika tidak mampu dengan bahasa Arab cukup ayat-ayat Al-Qur’an yang disampaikan harus dengan bahasa Arab. Kecuali Malikiyah, yaitu semua dalam khuthbah harus memakai bahasa Arab.

Malikiyah berpendapat; khuthbah harus menggunakan bahasa Arab, walaupun kaum tersebut tidak memahaminya, jika tidak ada orang yang mampu berbahasa Arab, maka gugurlah sholat Jum’atnya. Sebagaimana ungkapan mereka, berikut ini:

Yang artinya: Mereka Malikiyah, berkata: “Syarat dalam Khuthbah Jum’at harus berbahasa Arab sekalipun kaum ‘Ajam (selain orang Arab) yang tidak mengerti dalam bahasa Arab, bahkan apabila diantara kaum (yang akan menjadi Khootib) samasekali tidak ada yang dapat berbahasa Arab yang baik maka sholat Jum’at gugur. (Al-Fiqhu ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Ta’lif Abdurrohman Al-Juzairi, juz 1, hal: 391-392).

Hanafiyah berpendapat; boleh khuthbah dengan tidak menggunakan bahasa Arab walaupun ada orang yang mampu berbahasa Arab, baik itu dari orang Arab atau selain orang Arab. Sebagaimana ungkapan mereka, berikut ini:

Yang artinya: Mereka berkata: “Khuthbah boleh selain bahasa Arab walaupun ada orang yang mampu berbahasa Arab, baik itu kaum Arab atau selain mereka”.

Hanaabilah berpendapat; Tidak sah khuthbah menggunakan selain bahasa Arab selama masih ada orang yang mampu berbahasa Arab, baik itu untuk orang Arab maupun selain orang Arab, artinya apabila tidak ada yang mampu berbahasa Arab, maka boleh khuthbah dengan menggunakan bahasa selain Arab. Sebagaimana ungkapan mereka, berikut ini:

Syafi’iyah berpendapat; boleh khuthbah dengan tidak menggunakan bahasa Arab. Disyaratkan rukun-rukun khuthbah menggunakan bahasa Arab apabila masih ada orang yang mampu berbahasa Arab, ketentuan ini berlaku khusus bagi orang Arab saja, adapun selain orang Arab tidak disyaratkan. Sebagaimana ungkapan mereka, berikut ini:

4. Harus dilaksanakan tepat pada waktunya. jika khuthbah dilaksanakan sebelum waktunya dan mengerjakan sholat Jum’at sebelum waktunya, maka sholat Jum’atnya tidak sah.

5. Bersuara lantang dalam khuthbah hingga dapat didengar oleh seluruh jama’at yang wajib sholat Jum’at. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Hadits Muslim dan Nasaa’i, dari Jabir bin Abdulloh, ia berkata:

Yang artinya: “Ketika Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam sedang berkhuthbah kedua matanya memerah dan suaranya meninggi serta terlihat marah, seolah-olah beliau seperti seorang komando tentara perang”.

6. Antara dua khuthbah; dan antara dua khuthbah dengan sholat Jum’at jangan sampai ada jeda waktu yang cukup lama.

7. Berdiri dalam melaksanakaan khuthbah; jika seseorang mampu berdiri maka ia berkhuthbahnya dengan berdiri, dan jika ia tidak mampu berkhuthbah dengan berdiri maka boleh dengan duduk. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Hadits Abu Daud, dari Ibnu Umar, ia berkata:

Yang artinya: “Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam berkhuthbah dengan dua kali khuthbah, beliau duduk dan naik ke mimbar ketika adzan telah selesai, kemudian berdiri lalu berkhuthbah, selanjutnya beliau duduk dan tidak berkata apa-apa, kemudian beliau berdiri dan berkhuthbah”.

Kecuali Hanafiyah dan Hanaabilah, mereka berpendapat; berdiri dalam khuthbah hukumnya sunnah dan bukan wajib.

8. Duduk antara dua khuthbah dengan tuma’ninah. Walaupun seseorang berkhuthbah sambil duduk karena ada udzur, maka ia wajib berdian di antara kedua khuthbah melebihi seperti orang yang diam untuk bernafas, ini menurut Asy-syafi’iyah. Hal tersebut sesuai dengan hadits Abdulloh bin Umar yang telah dijelaskan pada poin ke tujuh, dan menurut yang lainnya hukumnya sunnah.

9. Khotib harus bersih dari hadats dan najis serta menutup aurot ketika berkhuthbah. Jika berhadats ketika berkhuthbah, maka putuslah khuthbahnya sampai dia menyempurnakan wudhunya, ini menurut Asy-Syafi’iyah. Adapun menurut yang lainnya hukumnya sunnah.

10. Khotib haruslah orang yang wajib melaksanakan sholat Jum’at. Maka tidak boleh hamba sahaya menjadi khotib berkhuthbah, atau musafir walaupun dia berniat memutuskan safarnya untuk sementara, ini menurut Hanaabilah. Dan imam yang lain sepakat dengan mereka jika jumlah jama’ah tidak sempurna kecuali dengan khothib, dan kita telah ketahui sebelumnya. Adapun jika jumlahnya telah sempurna tanpa dengan khothib maka tidak disyaratkan demikian.

Jika kita termasuk orang yang mengatakan, bahwa dalil yang menerangkan khuthbah sholat Jum’at harus menggunakan bahasa Arab hanyalah sebatas pendapat empat Madzhab, itu bukan dari hadits. Karena alasan itu, lantas kita tidak mau mengikutinya, maka sebaiknya kita pahami tentang sejarah mereka, bahwa mereka adalah tokoh ulama’, Imam ahli sunnah (al-hadits) yang sangat termasyhur / terkenal pada zamanya hingga kini. Mereka adalah Imam dalam ilmu hadits dan fiqih. Jadi, mereka itu boleh mengambil suatu keputusan melalui ijtihadnya, sebagaimana bolehnya Ulil Amri berijtihad.

Dan tak kalah pentingnya juga, hendaknya kita pahami istilah-istilah berikut ini:

Dalil Naqli adalah dasar ampo yang diambil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika ampo yang diambil dari Al-Qur’an itu sudah bisa dikerjakan, maka sudah cukup untuk dijadikan sebagai hujjah. Contoh; Ayat tentang bertayammum. Ayat tersebut sudah dapat dikerjakan. Tetapi, jika ayat Al-Qur’an belum dapat dikerjakan, maka harus dicarikan dasar hukumnya dari Al-Hadits. Contoh: Ayat tentang sholat. Ayat tersebut belum dapat dikerjakan, maka dicarikan Al-hadits yang menunjukkan dalil-dalil tentang tata cara sholat yang lengkap.

Dalil Aqli adalah dasar ampo yang diambil dari akal seseorang yang benar dan mendapatkan petunjuk, berupa Ijtihad. Contoh: Mu’adz bin Jabbal diutus Rosululloh ke Negeri Yaman untuk menarik zakat Mal. Maka Rosululloh bertanya kepada Mu’adz: “Bagaimana cara kamu menghukumi ? Mu’adz berkata: “Aku akan menghukumi sesuai dengan apa yang ada di dalam kitab Alloh”. Maka Rosululloh bersabda: “Kalau tidak ada di dalam kitab Alloh? Lalu Mu’adz berkata: “Maka dengan sunnah Rosulallohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam”. Maka Rosululloh bersabda: “Kalau di dalam sunnah Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam tidak ada juga? Mu’adz berkata: “Saya akan berijtihad memakai ro’yi saya”. Rosululloh, bersabda: “Al-Hamdulillah yang telah mencocokkan utusannya Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam”.(HR. Tirmidzi No. Hadits: 1249). Contoh: Ibni Umar berkata: “Suatu ketika manusia sholat Shubuh di Quba’, mereka menghadap ke Negeri Syam (karena mereka belum tahu dalilnya orang sholat itu harus menghadap kemana), tiba-tiba ada orang yang mendatangi mereka terus berkata: “Sungguh semalam telah diturunkan Qur’an kepada Rosulallohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, dan beliau diperintahkan (kalau sholat) agar menghadap ampong kiblat (Ka’bah), maka menghadaplah ampong kiblat! Lalu mereka berputar ampong Ka’bah”. (HR. Nasaa’I Juz 2 Hal 61).

Dalil Ijma’ adalah dasar ampo dari hasil kesepakatan para Ulama’ atau kesesuaian pendapat dari para ‘Ulama; persetujuan dari orang banyak. Contoh Ijma’: penerapan adzan ke 3 (adzan pertama sebagai panggilan sholat Jum’at, adzan kedua setelah Khotib mengucapkan salam sebagai pemberitahuan khuthbah akan segera dimulai, ketiga adalah qomat sebagai peberitahuan bahwa sholat segera didirikan) pada hari Jum’at yang diawali pada zaman kholifah Utsman bin Affan. Contoh lagi: Sholat Tarawih dilakukan sesudah sholat ‘Isya sampai waktu fajar. Bilangan roka’atnya yang pernah dilakukan oleh Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam adalah delapan roka’at. Umar bin Khoththob mengerjakannya sampai 20 roka’at. Amalan Umar bin Khoththob ini disepakati oleh Ijma’.

Dalil Qias adalah dasar ampo menurut qiasan atau alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan tentang ampo Islam, jadi bukan berdasarkan sunnah. Contoh Qias: Zakat fitrah pada zaman Rosululloh antara lain adalah kurma dan gandum. Bagi kita di Indonesia, beras diqiaskan dengan gandum, karena sama-sama makanan pokok. Contoh Qias: Orang kafir diqiaskan seperti orang mati atau orang tuli yang tidak mendengar panggilan sama sekali. Sebagaimana firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an Surat An-Naml, No. Surat: 27, Ayat: 80, yang berbunyi:

Yang artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”.

Empat dasar itulah sebagai sumber ampo Islam. Berdasar pada firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Ali Imron, No. Surat: 3, Ayat: 31, yang berbunyi:

Yang artinya: “Katakanlah Muhammad: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dan firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hasyr, No. Surat: 59, Ayat: 7, yang berbunyi:

Yang artinya: “Dan apa yang Rosul telah berikan pada kamu maka ambillah itu, dan apa yang Rosul melarang kamu dari sesuatu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya siksa Alloh itu sangat berat”.

Juga firman Alloh dalam Surat An-Nisaa’ No. Surat : 4, Ayat : 59, Alloh berfirman:

Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rosul, dan Ulil Amri (pemerintah dalam Islam: Amir atau Imam) diantara kamu (dari golongan orang iman)…”.

Sebagaimana juga sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Tirmidzi, No. Hadits: 2565, yang berbunyi:

Yang artinya: “Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, mereka semua masuk di dalam neraka, kecuali hanya satu golongan (yang tidak masuk neraka). Mereka (sahabat) berkata: “Dan siapakah yang satu golongan itu, ya Rosulalloh? Rosululloh, bersabda: “yaitu (golongan) yang mengerjakan apa yang saya kerjakan dan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabat saya”.

Menurut sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang telah diriwayatkan oleh ‘Imron bin Hushain di dalan Hadits Muslim, No. Hadits: 4603, yang berbunyi:

Yang artinya: Sesungguhnya Rosulallohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda: “Sebagus-bagusnya kamu sekalian adalah golonganku (yaitu para sahabat) kemudian orang-orang yang mendekati mereka (yaitu para tabi’it), kemudian orang-orang yang mendekati mereka (yaitu para tabi;in), kemudian orang-orang yang mendekati mereka (yaitu para tabi’ahum)”.

Dalil-dalil di atas mengandung pengertian bahwa jika kita hendak mengamalkan sesuatu ibadah, hendaknya mengacu pada firman Alloh (Al-Qur’an), sabda Rosululloh (sunnah Rosul / Al-Hadits), sunnah para Kholifah, para sahabat, para tabi’it, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para tabi’ahum bahkan ijtihadnya orang-orang yang baik dan benar, yang mendapatkan petunjuk sampai hari mendekati kiamat.

Dalam rangka memenuhi keta’atan kita kepada Ulil Amri adalah kita mematuhi semua ijtihadnya, selama ijtihadnya itu tidak maksiat dan berdasarkan bermusyawaroh. Diantara ijtihad Ulil Amri adalah sepak bola, UB, pencak silat dan lain-lain. Nah, apakah sepak bola, UB, pencak silat dan lain-lain ini juga langsung dari hadits? Tidak, kan! Tapi, merupakan ijtihad dari seorang Ulil Amri. Termasuk pula, kita pun boleh mengamalkan ijtihadnya empat orang imam madzhab tersebut, selama ucapan / pendapat / ijtihad mereka tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagaimana apa yang pernah mereka ampong dalam kesepakatan mereka berempat. Adapun pernyataan mereka tentang tidak boleh taqlid (menerima / mengikuti) pada pendapat mereka sebelum diuji kebenarannya, adalah :

Yang artinya: “Dan sungguh telah menjadi ketetapan dari Abi Hanifah (Imam Hanafi), dan Maliki (Imam Maliki), dan Safi’I (Imam Safi’i), dan Ahmad (Imam Hambali), dan selain mereka, semoga Alloh Yang Maha Tinggi menyayangi mereka. Bahwasannya mereka berkata: “Tidak halal bagi seseorang apabila ia memberi fatwa dengan dasar perkataan (pendapat) kami atau mengambil ucapan kami selama belum mengerti dari mana kami mengambilnya. Dan setiap orang dari mereka telah menjelaskan bahwa “Ketika suatu hadits telah shohih maka dia adalah madzhab kami”, dan mereka berkata lagi “Ketika kami mengatakan suatu perkataan (mengutarakan pendapat) maka ujilah terlebih dahulu dengan Kitab Alloh (Al-Qur’an) dan Sunnah Rosul-Nya (Al-Hadits), jika ternyata perkataan kami itu mencocoki pada keduanya maka terimalah perkataan/ pendapat kami itu dan (perkataan/pendapat kami ) yang menyalahi keduanya maka tolaklah ia dan buanglah jauh-jauh ucapan kami itu di luar pagar”.

Dan tidak ada satupun ulama’ yang menyatakan bahwa khuthbah Jum’at dengan bahasa Arab itu tidak sah, walaupun mustami’in (para pendengar) tidak seluruhnya bisa memahami isi khuthbah. Seperti halnya ketika orang Islam melaksanakan ibadah haji di Mekah dan pada waktu sholat Jum’at di Masjidil Harom, dimana Imam Masjidil Harom menyampaikan khuthbahnya dengan Bahasa Arab, sedangkan mustami’in yang dari ampon lain, yaitu dari seluruh dunia termasuk dari ampon Indonesia belum tentu dapat memahami isi khuthbah tersebut. Yang paling penting menurut Syaafi’iyyah Khuthbah Jum’at memenuhi 5 Rukunnya : 1. Memuji kepada Alloh, 2. Membaca Sholawat atas Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, 3. Dari setiap kedua khuthbah Jum’at itu ada wasiat / pesan Taqwa, 4. Dari salah satu kedua khuthbah itu membaca ayat dari Al-Qur’an, 5. Khusus untuk khuthbah yang keduanya harus ada do’a untuk Mu’minin dan Mu’minatnya. Adapun khuthbah yang dipakai di masjid-masjid LDII itu sudah memenuhi 5 syarat tersebut. Bagi warga LDII materi khuthbah yang mereka dengarkan pada saat khuthbah Jum’at dimanapun mereka bersholat Jum’at di masjid-masjid LDII jauh sebelumnya sudah dikajikan / sampaikan kepada masing-masing warga LDII. Jadi, untuk warga LDII itu tidak menjadi masalah. Dengan khutbah berbahasa Arab si Khotib tidak terpancing dengan suasana politik, karena isi khutbah yang dibaca oleh khotib-khotib sholat Jum’at di masjid-masjid LDII itu adalah firman Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa dan sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam serta ucapan para shohabat samasekali tidak ada ampon politiknya. Semata-mata hanya mengajak untuk meningkatkan ukhuwwah Islamiyah, beribadah dan bertaqwa kepada Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa.

Sumber: Subandi Baiturrahman

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar